Cerpen


Lebih Cepat Lebih Baik

Semakin hari dilema kehidupan semakin nelangsa. Kehidupan wanita yang kelam ini semakin bimbang. Berjalan goyah. Hingga tak mengerti arah tujuan berpijak. Rasanya hampa. Bahkan kosong. Rara melihat Rina yang masih duduk lesu ditempat duduknya sepulang sekolah. Ingin menghampirinya tapi tak sampai hati untuk mendekatinya. Rina teman yang baik, ceria, suka berbagi, dan sifatnya yang sangat dewasa. Namun, setelah tahun 2011 lalu, sifatnya berubah drastis menjadi lebih diam. Entahlah. Tak ada yang tau mengapa Ia begitu. Beban apapun itu, semua Ia genggam sendiri. Kubulatkan tekadku untuk menghampirinya.
Rin, kamu baik-baik saja?” tanyaku halus. Rina kaget dan bingung tersentak dari
lamunannya.
Oh, eh, ehmm, engga kok, Rin. Hehehe !” jawabnya dengan mengalihkan pertanyaan.
Aku semakin bingung dengan jawaban itu. Aku berfikir sejenak.
Rin, balik bareng aja yok?”  ajakku.
Iya deh, Ra !” jawabnya.
Akhirnya kami berdua meninggalkan ruang kelas. Hening. Tak ada satupun yang angkat bicara. Sampai di koridor kelas XIIA.
Rin, makan es krim atau ke tepi pantai ya ?” tanyaku iseng.
Kalau menurutku lebih enak ke tepi pantai. Aku juga pengen ke sana. Disana itu kita bisa berinteraksi dengan alam dan bercerita. Bahkan kita bisa puas menangis mengungkapkan hasrat ini.“ Jawab Rina.
Mendengar penjelasan itu aku memiliki ide untuk membawanya ke pantai. Berharap dia mau bercerita. Suasana kan bisa merubah mood kita. Langsung saja aku tarik tangan Rina ke parkir sekolah. Saat dia mengelak, ku genggam tangannya. Ku bawa dia. Ku berikan helm. Dan menyuruhnya untuk duduk di belakangku. Menujulah aku ke pantai terdekat.
Ra, mau di bawa kemana aku?” tanyanya bingung.
Udah, lihat aja nanti !” jawabku ketus tanpa menghiraukan lagi.
Aku membawa motor dengan kecepatan tinggi. Kencang. Rina sudah mulai menikmati perjalanan. Wajahnya lebih cerah, cantik. Seperti yang dahulu. Terlihat binar ketenangan dari wajahnya. Bibirnya yang tipis membuatnya lebih manis ditambah lesung pipit di kanan-kirinya.
Lama sudah perjalanan. Sampai juga di sebuah pantai yang maha besar. Rina pun langsung berjalan ke tepi pantai. Meninggalkanku. Dia berjalan seperti di tuntun. Mengikutinya. Memperhatikannya. Hampir mendekati gelombang. Dia duduk tertunduk. Ku menghampirinya dan duduk di samping Rina. Dia meneteskan air mata. Menangis. Tangisannya buncah ketika ku angkat wajahnya. Dia memelukku erat. Ku belai lembut badannya. Membiarkannya menangis.
Apa aku salah? Bahkan durhakakah aku? Membenci benih-benih cinta orang tuaku. Mengapa ku tak rela? Satu demi satu semua hilang, impianku terjerat.” Tuturnya lembut.
Tercengang mendengar keluhannya itu. Jadi, ini yang dia pendam. Batinku.
Rin, tidak kamu tidak salah, tidak durhaka. Mulailah dengan sabar ikhlas dan meneRina. Tak perlu dengan emosi. Perlahanlah semua itu akan menghasilkan hal yang baik.“ Nasihatku.
Masih mengumpat ia dalam tangisnya. Mungkin dia masih  mencerna akan semua kata-kataku.
Allah, pasti memberikan jalan yang terbaik buatmu. Ada hikmah di setiap cobaan yang engkau dapatkan. Cobalah perlahan. “Tuturku lagi.
“Ra, sampai kapan ya?” tanyanya. Seraya duduk menatap matahari yang mulai tertidur di ufuk.
Ibarat matahari, kamu masih siang sedikit lagi. Sedikit Engkau akan ikhlas, Rina.” Jelasku

* * *

Di rumah Rara masih tercengang dengan kata-kata Rina. Apa faktor yang menyebabkan Rina seperti itu. Namun,Rara mengurungkan niat untuk berkata malam ini. Membiarkan Ria tenang.

* * *

Sujud syukur  yang telah Rina lakukan dan telah menjadi kebiasaan menjadi penutup dalam shalatnya. Rina yang merupakan perempuan dan anak BH (broken home) ini telah rapuh. Membenci kandungan. Namun, ingin ikhlas karena semua pasti yang terbaik. Membahagiakan Bunda.
Kehidupan kasih sayang yang kurang, membuat Rina lelah dan putus asa. Tak ada tempat berbagi rasa,senang dan sedih. Ketika bercerita dengan kawan. Tak ada yang mampu membuatnya tenang dengan mantap. Hanya dia! Satu lelaki yang merubah taraf  hidup Rina.
“ Bang, aku ingin bercerita. Aku kalut dengan keadaan. Aku ingin menangis. Menepis. Bersandar sejenak di pundakmu. Namun, kini kau telah lupa tentangku. Hasratku. Kenanganku. Aku butuh abang. Aku ingin bercerita. Semua. Aku mau nasihat Abang. Yang buatku damai. Tentram “ gumamku memandang boneka yang Abang berikan.
Rina terisak. Membayangkan semua. Dosa. Kesalahan. Kebekuan hati. Sampai mata tertutup rapat. Tertidur. Mengaharapkan Abangnya.

* * *

Rin! Bangun sudah jam 6.” Teriak Bunda Rina membangunkan. Tanpa menggubris,Rina pun bangun dan bersiap berangkat sekolah.
“ Bunda, Rina berangkat. “ pamitku pada Bunda seraya mencium pipi dan tangan.
Berlari. Menghilang dari pelupuk mata Bunda. Tertegun menatap wajah Bunda. Rasanya ingin memeluk. Meminta maaf. Bahkan bersujud atas keras hati ini. Aku sayang Bunda. Jeritku dalam dada.
Ambang pintu sekolah sudah terlihat. Canda tawa kawan-kawan yang membuatnya iri. Ingin rasanya tertawa bebas. Lepas. Sebebas apapun yang dapat membuatnya lupa akan segala hal yang merumbuk hati dan perasaannya.

* * *

Sastra apapun yang ada adalah petuah yang dapat membuatku semakin tegar. Diriku adalah tulisanku. Sajak dan syair bulan itu. Menandakan betapa penting sastra dalam hidupku. Pelajaran Bahasa Indonesia ini membahas tentang sastra. Semuapun membuat syair dan pada akhirnya menjadi penilaian. Ku tulis sajak diri.

            Tergores keras kawanan janji
            Tak terbilang peliknya hidup
            Mengikhlaskan bukan hal mudah
            Membalik tangan
            Bukan! Bukan itu!
            Menerima ikhlas dan memaafkan
            …..

Tak tersadar aku menjadi pusat perhatian Rara. Bingung menatapku.
“ Rin,masih mikirin yang kemarin?” tanya Rara.
Aku hanya senyum kecut mengiyakan pertanyaanya. Setelah bel berdentang. Tanpa pamit aku meninggalkan sekolahku.

*** 9 bulan ***

Hari itu, Bunda masuk Rumah Sakit. Operasi. Melahirkan jabang bayi yang telah Ia kandung selama ini 9 bulan. 9 bulan Ia mengandung, menopang berat,membinaku. Ikhlas. Masya Allah, sangatlah keji diriku.
Pukul 03.00 dini hari, dokter membedah isi perut Bunda. Menyakitkan. Melukai. Menyisahkan sayatan-sayatan Tuhan. Ku menagis di atas sujud tahajudku. Berdo’a memohon ampun. Meminta Bunda dan jabang bayi itu selamat. Membiarkan Tuhan berikan hal yang ikhlas.
Lahirlah bayi Adik laki-lakiku. Besar. Gendut. Putih bersih. Dalam ingkubator  yang hangat. Inginku membelainya. Memohon maaf.
Bunda!”, tersentak.
Ayah! Di mana Bunda! Dimana?” teriakku.
“Tenang sayang, Bundamu sedang istirahat menanti 2 jam lagi bius itu hilang. Sabar ya
sayang.”

***

0 Response to "Cerpen"

Posting Komentar